Jalanya diskusi berjalan dengan antusias, dilihat dari peserta yang merespon dari paparan pembicara. Imam S Mime direktur Artistik Sanggar Kaliptra sekaligus Mime memberikan pertanyaan mengapa puisi Itu Harus dikenai hukum hukum / kaidah penulisan puisi. dan apakah kita bisa membuat puisi dengan cara kita.
Amin Budi Utomo menyampaikan jika, Menulis adalah kerja menalar dan mensistematisasi pikiran, kerja yang dapat menyelamatkan kita dari budaya kelisanan yang sukar dipertanggungjawabkan. Antologi Puisi Jalan Setapak di Lorong Oktober yang ditulis oleh Ahmad Habib Panglima, Des Ariyanto, Chyntia Zahra, Putra Galih Kaloko, M Fadly Gunawan, Ira Ayu Melinda, Rizki Maulana, Arum Trisnaning Tyas, Azkia Putri Andini, Melin Maulinta, Salsabila, Solehah Febri Ananta, Syifa Alya Zahra, Ari Siswanto. Ini merupakan upaya dari menyelamatkan itu. Ucapnya.
Sedangkan Solihin Utjok menyampaikan pengantar ulasannya “MERAWAT KOTA DENGAN PUISI” Puisi bukan sekadar soal mengungkap sebuah momen atau menuangkan kegelisahan-kegelisahan yang menjadi pengalaman puitik penulis dalam larik-larik.
“Bukan pula semacam kredo-kredo yang gagal patut untuk bergaul secara intim menjelma bait-bait. Tetapi lebih pada bagaimana kata-kata itu dilontarkan Penyair melalui semesta imaji dan bahasa figuratif lalu melekat-rekat di hati dan mengobrak-abrik kegelisahan-kegelisahan pembaca. Sehingga membaca puisi seperti memasuki lorong-lorong gelap kecemasan, menapak jalan-jalan sempit, merangkak tebing-tebing curam untuk meraih gemerlap kebahagian,” ucapnya.