Media Bangkalan pintar pula memanipulasi berita, proyek pengerjaan jalan yang hasil dari PJ Bupati Bangkalan sebelumnya, disampaikan hasil kerja keras bupati sekarang. Tapi tidak menjadi sebuah keheranan jika media bangkalan mempunyai statmen seperti itu, karena media di bangkalan sekarang kebanyakan tidak independen, karena sudah masuk dalam perangkap para elit politisi Bangkalan.
Paling menyedihkan, kebodohan pemimpin ini justru menjadi aset bagi mereka yang ingin mempertahankan status quo. Pemimpin cerdas akan bertanya, akan membangkang, akan mengancam struktur lama. Tapi Bupati Bangkalan saat ini. Ia patuh. Ia tunduk. Ia bisa dikebiri. Ia bisa dijual kepada publik lewat narasi yang dikendalikan oleh media dan konsultan politik bayaran, hingga penulis menyimpulkan di sini, kebodohan bukan kecelakaan. Ia adalah strategi.
Rakyat hanya menjadi penonton, disuguhkan drama tentang kemajuan, digiring dalam euforia palsu, disuruh percaya bahwa daerahnya sedang baik-baik saja. Kita dikondisikan untuk bersyukur di tengah krisisnya pertunjukan kelinci percobaan, untuk diam di tengah ketidakadilan. Kita dijinakkan oleh media bayaran, dimabukkan oleh slogan BERBAGI Bangkalan senang berbagai-bagi (bagi-bagi kursi), dan dibutakan oleh pencitraan, bupati turun trotoar, bupati turun kejalan.
Pola pemerintahan yang sepert itu hanya akan melahirkan rezim teknokrat tanpa empati. Para pejabat pragmatis di sekelilingnya hanya peduli pada stabilitas bukan keadilan. Mereka mencari akal bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk mengamankan posisi mereka sendiri. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bahaya yang nyata ketika seorang pemimpin tak punya kemampuan berpikir kritis, dan dikelilingi oleh mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai proyek. Kekuasaan ini bukan ladang bisnis. Kekuasaan bukan alat dagang. Rakyat bukan objek eksperimentasi sosial.
Machiavelli mengajarkan kita bahwa pemimpin harus punya kecerdikan untuk menghadapi realitas. Marx mengingatkan bahwa kekuasaan akan terus menindas selama struktur ekonomi-politik tidak digugat. Dalam konteks kita sekarang, dua pemikir besar ini berteriak bersama, hancurkan ilusi kekuasaan palsu ini, sebelum semuanya runtuh. Karena jika kita terus diam, maka kita sedang ikut menyusun fondasi dari tirani yang dibungkus dalam kebodohan dan pragmatisme.
*Rohman, penulis adalah pemuda asli Bangkalan, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UII