Apa yang lebih tahan lama dari bukti? Mungkin jawabannya adalah gosip—terutama ketika ia dipelihara, diputar ulang, dan diberi panggung.
Lebih dari satu dekade Joko Widodo memimpin negeri ini, namun perdebatan soal keaslian ijazah S-1 Presiden RI ke-7 tak kunjung padam. Isunya tidak pernah benar-benar berubah, hanya berputar di lingkaran narasi yang sama, tetapi entah bagaimana selalu berhasil naik kembali ke permukaan. Universitas Gadjah Mada sudah memberi klarifikasi resmi. Alumni seangkatannya dari Fakultas Kehutanan bahkan baru saja reuni bersama Jokowi, menegaskan bahwa ia memang teman sekelas sejak 1980. Namun, di ruang digital yang gaduh, satu-dua tokoh tetap rajin mengipasi bara isu ini. Dan publik, seperti penonton setia sebuah sinetron panjang, terus mengikutinya.
Fenomena ini menunjukkan betapa di negeri ini, kebenaran sering kali kalah menarik dibanding gosip yang punya alur cerita. Dokumen resmi, kesaksian kolektif, dan data faktual bisa jadi jelas dan logis, tetapi sebagian orang lebih memilih cerita alternatif yang berputar di media sosial. Ada daya tarik tersendiri pada narasi yang absurd—ia memancing rasa penasaran, menantang logika, dan memberi ruang bagi imajinasi.
Gosip ijazah ini kembali menggeliat sejak 2022, ketika Bambang Tri Mulyono menggugat keabsahan dokumen akademik Jokowi ke pengadilan. Gugatan itu kandas, tetapi logika hukum ternyata bukan penentu akhir dalam opini publik. Di luar ruang sidang, tudingan “ijazah palsu” justru hidup lebih lama, dihidupkan oleh figur seperti Roy Suryo yang menyebutnya sebagai “upaya mencari kebenaran”, walau lebih terlihat seperti proyek personal demi eksistensi. Dari grup WhatsApp ke kanal YouTube, dari TikTok ke akun komentar politik, narasi ini menjalar ke mana-mana. Media arus utama pun—atas nama “kepentingan publik”—ikut memberi panggung.
Seperti semua polemik, selalu ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Dalam kasus ini, isu ijazah menyedot atensi publik hingga hal-hal substansial luput dibahas. Program prioritas pemerintahan Prabowo—mulai dari koperasi baru hingga makan bergizi gratis—jarang menjadi sorotan. Penurunan daya beli masyarakat, krisis pangan, atau problem kesehatan publik kalah pamor dari gosip digital yang menghibur sekaligus memecah perhatian.
Bagi Jokowi sendiri, isu ini mungkin bukan ancaman besar, bahkan bisa menjadi keuntungan politis. Sepuluh tahun ditempa di panggung nasional membuatnya piawai menghadapi badai isu. Ia merespons dengan tenang, atau malah membiarkannya lewat begitu saja. Selama gosip berputar, namanya tetap berada di puncak atensi publik. Foto-fotonya beredar setiap hari, pintu rumahnya diliput media, dan ia terus hadir di kesadaran kolektif. Dalam politik, eksistensi adalah modal, dan gosip ini—suka atau tidak—membantu mempertahankannya.