Mengapa Kajian Keislaman Kita Terasa Mandek?

Kirwan

Di tengah dinamika global yang semakin cepat, kajian keislaman di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan penting. Di satu sisi, kita punya tradisi Islam lokal yang kaya, toleran, dan menyatu dengan budaya Nusantara. Di sisi lain, ada arus global dari Timur Tengah yang membawa semangat purifikasi (pemurnian) agama secara kaku dan tekstual. Sayangnya, banyak lembaga pendidikan Islam di Indonesia—dari pesantren sampai kampus—masih terjebak dalam cara pandang lama yang hanya meniru wacana luar tanpa berani menciptakan pemikiran keislaman khas Indonesia.

Hal inilah yang membuat kajian keislaman kita terasa kehilangan arah. Islam sering dipahami hanya dalam bentuk hukum-hukum formal, tanpa menjawab pertanyaan besar masyarakat: bagaimana Islam berbicara soal ketimpangan sosial? Soal kemiskinan? Soal lingkungan? Soal digitalisasi? Padahal, semua ini adalah isu keumatan yang nyata.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita berani melakukan revitalisasi. Kajian keislaman Indonesia harus bangkit, tampil percaya diri dengan warna sendiri—dengan pendekatan yang lebih segar, kritis, membumi, dan tetap berpijak pada nilai-nilai Islam yang luhur.

Mengapa Kajian Keislaman Kita Terasa Mandek?

Mari kita jujur. Banyak lembaga keislaman kita masih memakai metode belajar yang sudah sangat lama: menghafal, mengulang, dan mendikte. Cara ini memang berguna untuk menjaga tradisi, tapi tidak cukup untuk menjawab tantangan zaman. Akibatnya, para pelajar Islam bisa hafal kitab, tapi kurang dilatih berpikir kritis dan kreatif. Mereka pintar menjelaskan hukum, tapi seringkali gagap menjawab realitas.

Belum lagi soal konten. Banyak kajian keislaman di Indonesia masih meniru cara berpikir dari luar negeri—khususnya dari Timur Tengah. Tanpa disadari, ini menciptakan ketergantungan intelektual. Padahal, konteks sosial-budaya Indonesia jelas berbeda. Kita punya sejarah, adat, dan keragaman yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan budaya Arab.

Bacaan Lainnya

Yang lebih mengkhawatirkan, arus pemikiran Islam yang puritan—yang cenderung kaku dan menolak budaya lokal—semakin masif. Gerakan ini menganggap praktik Islam yang khas Nusantara, seperti tahlilan, maulidan, atau ziarah kubur, sebagai bid’ah atau bahkan sesat. Ini membuat umat Islam Indonesia yang sudah hidup damai dalam keberagaman, jadi saling curiga bahkan konflik.

Islam Nusantara: Bukan Sekadar Label, tapi Jalan Tengah

Di tengah kekakuan puritanisme dan kekosongan arah pemikiran lokal, muncul konsep Islam Nusantara. Konsep ini bukan sekadar proyek budaya, tapi sebuah tawaran jalan tengah yang menyelaraskan ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal. Islam yang dibawa Wali Songo ke Nusantara dulu tidak datang dengan pedang, tapi dengan seni, budaya, dan dialog.

Islam Nusantara mengajarkan bahwa nilai-nilai Islam—seperti keadilan, kasih sayang, dan persaudaraan—bisa diwujudkan dalam bentuk-bentuk budaya yang berbeda, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Di sinilah letak kekuatan pendekatan ini: Islam tidak harus kaku dan seragam, tapi bisa lentur dan bersahabat dengan budaya lokal.

Namun, sayangnya Islam Nusantara juga kerap disalahpahami. Banyak yang menuduh ini sebagai Islam sinkretis, anti Arab, atau bahkan proyek politis. Padahal, inti dari Islam Nusantara adalah membangun metodologi berpikir yang kontekstual—bukan semata-mata mempertahankan ritual.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *