Mengapa Kajian Keislaman Kita Terasa Mandek?

Kirwan

Dari Islam Simbolik ke Islam Metodologis

Salah satu masalah utama dalam perdebatan keislaman kita adalah terlalu fokus pada simbol, bukan pada cara berpikir. Misalnya, kita ribut soal celana cingkrang, jenggot, atau bacaan qunut, tapi jarang membahas bagaimana Islam menjawab isu ketimpangan ekonomi, krisis iklim, atau digitalisasi dunia kerja.

Revitalisasi kajian keislaman harus dimulai dari menggeser fokus: dari sekadar simbol ke arah metodologi. Kajian Islam harus mulai dibangun dengan pendekatan interdisipliner—menggabungkan ilmu tafsir, fikih, dan tasawuf dengan ilmu sosial, politik, dan bahkan teknologi. Di sinilah pentingnya keberanian berpikir lintas batas.

Inspirasi dari Para Tokoh Pembaru Kita

Indonesia sebetulnya tidak kekurangan pemikir besar. Kita punya Harun Nasution yang berani memperkenalkan rasionalisme dalam studi Islam. Kita punya Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang membuka ruang ijtihad dengan gagasan sekularisasi nilai. Dan tentu saja, ada Gus Dur, yang dengan berani menggagas “pribumisasi Islam”—yakni Islam yang hidup dalam denyut nadi budaya lokal.

Para tokoh ini telah meletakkan dasar penting untuk membangun kajian Islam yang kritis, inklusif, dan relevan dengan realitas bangsa. Sayangnya, warisan pemikiran mereka belum sepenuhnya dihidupkan kembali dalam lembaga-lembaga pendidikan kita.

Revitalisasi: Dari Ruang Kelas ke Ruang Publik

Revitalisasi kajian keislaman tidak cukup dilakukan di ruang kelas atau pesantren saja. Ia harus hadir dalam ruang publik—lewat diskusi di media, kurikulum di sekolah, hingga pernyataan para tokoh agama. Kajian Islam tidak boleh eksklusif hanya untuk kalangan akademik atau kiai, tapi harus menjadi bagian dari percakapan umat.

Bacaan Lainnya

Ini juga menjadi penting dalam konteks global. Dunia saat ini sedang haus pada model Islam yang damai, toleran, dan beradab. Indonesia, dengan tradisi Islam Nusantaranya, punya modal besar untuk menjadi contoh. Tapi syaratnya satu: kita harus percaya diri dengan pendekatan kita sendiri.

Dengan demikian, jika kajian keislaman di Indonesia hanya terus meniru luar, hanya bicara hukum-hukum tanpa menyentuh realitas sosial, maka ia akan kehilangan makna. Tapi jika kita berani merumuskan pendekatan sendiri—yang kritis, interdisipliner, dan membumi—maka Islam Indonesia bisa tampil sebagai alternatif penting dalam wacana Islam global.

Kita tidak harus menjadi Arab untuk menjadi Muslim yang baik. Kita bisa menjadi Muslim yang kaffah dengan tetap menjadi orang Indonesia yang cinta budaya, cinta perdamaian, dan cinta ilmu. Di sinilah pentingnya membangun kajian keislaman khas Indonesia: bukan demi romantisme masa lalu, tapi demi masa depan umat yang lebih cerdas, damai, dan berdaya.

*Kirwan, penulis adalah Presiden Nasional Forum Mahasiswa Ushuluddin se-Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *