Retret Remaja Dibubarkan Paksa, Yayasan Cahaya Guru: Negara Jangan Jadi Penonton!

Ilustrasi

JAKARTA – Insiden pembubaran paksa kegiatan retret keagamaan remaja Kristen di Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada 27 Juni 2025, menuai kecaman luas. Tindakan disertai intimidasi dan perusakan terhadap rumah singgah yang digunakan sebagai tempat kegiatan itu dinilai sebagai bentuk nyata intoleransi dan pelanggaran hukum yang harus diselesaikan secara tegas.

Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, mengecam keras kejadian tersebut. Ia menilai insiden itu bukan hanya menyerang fisik, melainkan juga mengancam harapan akan masa depan keberagaman Indonesia.

“Retret keagamaan mestinya menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk tumbuh dalam nilai-nilai religius, tanggung jawab, dan toleransi. Jika ruang ini diserang, yang dirusak bukan hanya bangunan fisik, tapi juga harapan kita akan masa depan keberagaman Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Kepolisian Resor Sukabumi telah menangkap tujuh orang tersangka yang diduga melakukan perusakan pagar, kendaraan, serta peralatan keagamaan dalam insiden yang melibatkan 36 peserta remaja beserta pendampingnya itu.

“Ketujuh tersangka saat ini ditahan di Polres Sukabumi untuk penyidikan lebih lanjut,” jelas AKBP Samian, Kepala Polres Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Mukhlisin menegaskan pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama, khususnya bagi anak-anak.

“Jangan biarkan hak mengembangkan karakter spiritual digerus intoleransi dan tindakan tak bermoral seperti ini. Tindakan perusakan dan intimidasi adalah tindak pidana yang harus diproses hukum. Jika negara gagal menindak tegas, ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan kebebasan beragama dan pendidikan karakter di Indonesia,” tegasnya.

Yayasan Cahaya Guru merespons peristiwa ini dengan empat seruan: negara wajib melindungi pendidikan keagamaan, penegakan hukum terhadap pelaku, pembentukan sistem pengawasan kegiatan keagamaan informal, serta penguatan ruang dialog antariman.

Sementara itu, dalam upaya memperkuat kohesi sosial, Institut Leimena mendorong program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) guna membangun saling pengertian dan mencegah prasangka.

“Fokus ini krusial karena prasangka dan ketakutan terhadap orang lain yang berbeda adalah bibit subur bagi konflik sosial,” kata Direktur Institut Leimena, Matius Ho.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *