Negara Tak Boleh Buta Budaya: Amplop Kondangan Bukan Objek Pajak

Rohman

Lebih dari sekadar kesalahan teknis, ini adalah bentuk intervensi negara yang melampaui batas. Negara seharusnya hadir untuk memperkuat struktur sosial masyarakat, bukan mencederainya dengan logika fiskal yang buta budaya. Ketika amplop kondangan rakyat kecil dibidik, sementara para pemilik modal dan elite politik justru lihai mencari celah penghindaran pajak, maka jelas kita sedang menghadapi defisit keadilan fiskal yang sangat serius. Bukan tidak mungkin, ketimpangan yang terus dibiarkan ini akan memperbesar jurang ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.

Masyarakat Madura, seperti banyak komunitas adat lainnya di Indonesia, tidak pernah alergi terhadap pajak. Mereka membayar PBB, membayar retribusi, bahkan iuran kampung secara rutin. Namun mereka juga berhak untuk menolak kebijakan yang mencerminkan ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan ketidakpekaan terhadap nilai-nilai sosial. Tradisi bukanlah beban, tetapi aset sosial yang justru menopang harmoni di tengah minimnya perhatian negara. Amplop kondangan adalah simbol kepercayaan, bukan objek transaksi. Dan selama negara belum mampu hadir secara penuh dalam menjamin kehidupan warganya, maka biarkan solidaritas sosial tetap menjadi ruang aman rakyat dalam merawat kebersamaan.

Jika negara benar-benar ingin memperkuat basis penerimaan pajak, fokuslah pada reformasi sistem perpajakan yang menyasar sektor-sektor yang selama ini kebal: korporasi besar, pelaku penghindaran pajak, dan elite ekonomi-politik yang hidup dalam lapisan istimewa. Perbaiki sistem administrasi, tutup celah penggelapan, dan bangun mekanisme transparansi yang kuat. Jangan justru mengganggu ruang-ruang sosial rakyat yang masih hidup karena budaya, bukan karena instrumen negara.

Dalam negara yang ingin adil, tak ada tempat bagi kebijakan fiskal yang mengabaikan konteks sosial. Jangan ubah simbol persaudaraan menjadi objek pungutan. Jangan rusak semangat gotong royong dengan kebijakan yang hanya melihat angka, tapi gagal membaca makna.

*Rohman, penulis adalah Pegiat di Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY)

Bacaan Lainnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *